Jumat, 26 Juni 2009

Sub Arachnoid Hemoraghee



A subarachnoid hemorrhage (SAH, pronounced /ˌsʌbəˈræknɔɪd ˈhɛm(ə)rɪdʒ/, or subarachnoid haemorrhage in British English) is bleeding into the subarachnoid space—the area between the arachnoid membrane and the pia mater surrounding the brain. This may occur spontaneously, usually from a ruptured cerebral aneurysm, or may result from head injury.

Symptoms of SAH include a severe headache with a rapid onset ("thunderclap headache"), vomiting, confusion or a lowered level of consciousness, and sometimes seizures.[1] The diagnosis is generally confirmed with a CT scan of the head, or occasionally by lumbar puncture. Treatment is by prompt neurosurgery or radiologically guided interventions with medications and other treatments to help prevent recurrence of the bleeding and complications. Surgery for aneurysms was introduced in the 1930s, but since the 1990s many aneurysms are treated by a less invasive procedure called "coiling", which is carried out by instrumentation through large blood vessels.[1]

SAH is a form of stroke and comprises 1–7% of all strokes.[2] It is a medical emergency and can lead to death or severe disability—even when recognized and treated at an early stage. Up to half of all cases of SAH are fatal and 10–15% die before reaching a hospital,[1] and those who survive often have neurological or cognitive impairment.[3]

Kamis, 25 Juni 2009

Guillaine Barre Syndrome


What is Guillain-Barré Syndrome?

Guillain-Barré syndrome is a disorder in which the body's immune system attacks part of the peripheral nervous system. The first symptoms of this disorder include varying degrees of weakness or tingling sensations in the legs. In many instances, the weakness and abnormal sensations spread to the arms and upper body. These symptoms can increase in intensity until the muscles cannot be used at all and the patient is almost totally paralyzed. In these cases, the disorder is life-threatening and is considered a medical emergency. The patient is often put on a respirator to assist with breathing. Most patients, however, recover from even the most severe cases of Guillain-Barré syndrome, although some continue to have some degree of weakness. Guillain-Barré syndrome is rare. Usually Guillain-Barré occurs a few days or weeks after the patient has had symptoms of a respiratory or gastrointestinal viral infection. Occasionally, surgery or vaccinations will trigger the syndrome. The disorder can develop over the course of hours or days, or it may take up to 3 to 4 weeks. No one yet knows why Guillain-Barré strikes some people and not others or what sets the disease in motion. What scientists do know is that the body's immune system begins to attack the body itself, causing what is known as an autoimmune disease. Guillain-Barré is called a syndrome rather than a disease because it is not clear that a specific disease-causing agent is involved. Reflexes such as knee jerks are usually lost. Because the signals traveling along the nerve are slower, a nerve conduction velocity (NCV) test can give a doctor clues to aid the diagnosis. The cerebrospinal fluid that bathes the spinal cord and brain contains more protein than usual, so a physician may decide to perform a spinal tap.

Is there any treatment?

There is no known cure for Guillain-Barré syndrome, but therapies can lessen the severity of the illness and accelerate the recovery in most patients. There are also a number of ways to treat the complications of the disease. Currently, plasmapheresis and high-dose immunoglobulin therapy are used. Plasmapheresis seems to reduce the severity and duration of the Guillain-Barré episode. In high-dose immunoglobulin therapy, doctors give intravenous injections of the proteins that in small quantities, the immune system uses naturally to attack invading organism. Investigators have found that giving high doses of these immunoglobulins, derived from a pool of thousands of normal donors, to Guillain-Barré patients can lessen the immune attack on the nervous system. The most critical part of the treatment for this syndrome consists of keeping the patient's body functioning during recovery of the nervous system. This can sometimes require placing the patient on a respirator, a heart monitor, or other machines that assist body function.

What is the prognosis?

Guillain-Barré syndrome can be a devastating disorder because of its sudden and unexpected onset. Most people reach the stage of greatest weakness within the first 2 weeks after symptoms appear, and by the third week of the illness 90 percent of all patients are at their weakest. The recovery period may be as little as a few weeks or as long as a few years. About 30 percent of those with Guillain-Barré still have a residual weakness after 3 years. About 3 percent may suffer a relapse of muscle weakness and tingling sensations many years after the initial attack.

What research is being done?

Scientists are concentrating on finding new treatments and refining existing ones. Scientists are also looking at the workings of the immune system to find which cells are responsible for beginning and carrying out the attack on the nervous system. The fact that so many cases of Guillain-Barré begin after a viral or bacterial infection suggests that certain characteristics of some viruses and bacteria may activate the immune system inappropriately. Investigators are searching for those characteristics. Neurological scientists, immunologists, virologists, and pharmacologists are all working collaboratively to learn how to prevent this disorder and to make better therapies available when it strikes.





DEFINISI
Serangan Iskemik Sesaat (Transient Ischemic Attacks, TIA) adalah gangguan fungsi otak yang merupakan akibat dari berkurangnya aliran darah ke otak untuk sementara waktu.

TIA lebih banyak terjadi pada usia setengah baya dan resikonya meningkat sejalan dengan bertambahnya umur.
Kadang-kadang TIA terjadi pada anak-anak atau dewasa muda yang memiliki penyakit jantung atau kelainan darah.

PENYEBAB
Serpihan kecil dari endapan lemak dan kalsium pada dinding pembuluh darah (ateroma) bisa lepas, mengikuti aliran darah dan menyumbat pembuluh darah kecil yang menuju ke otak, sehingga untuk sementara waktu menyumbat aliran darah ke otak dan menyebabkan terjadinya TIA.

Resiko terjadinya TIA meningkat pada:
- tekanan darah tinggi
- aterosklerosis
- penyakit jantung (terutama pada kelainan katup atau irama jantung)
- diabetes
- kelebihan sel darah merah (polisitemia).

GEJALA
TIA terjadi secara tiba-tiba dan biasanya berlangsung selama 2-30 menit, jarang sampai lebih dari 1-2 jam.

Gejalanya tergantung kepada bagian otak mana yang mengalami kekuranan darah:
- Jika mengenai arteri yang berasal dari arteri karotis, maka yang paling sering ditemukan adalah kebutaan pada salah satu mata atau kelainan rasa dan kelemahan
- Jika mengenai arteri yang berasal dari arteri vertebralis, biasanya terjadi pusing, penglihatan ganda dan kelemahan menyeluruh.

Gejala lainnya yang biasa ditemukan adalah:
- Hilangnya rasa atau kelainan sensasi pada lengan atau tungkai atau salah satu sisi tubuh
- Kelemahan atau kelumpuhan pada lengan atau tungkai atau salah satu sisi tubuh
- Hilangnya sebagian penglihatan atau pendengaran
- Penglihatan ganda
- Pusing
- Bicara tidak jelas
- Sulit memikirkan atau mengucapkan kata-kata yang tepat
- Tidak mampu mengenali bagian tubuh
- Gerakan yang tidak biasa
- Hilangnya pengendalian terhadap kandung kemih
- Ketidakseimbangan dan terjatuh
- Pingsan.

Gejala-gejala yang sama akan ditemukan pada stroke, tetapi pada TIA gejala ini bersifat sementara dan reversibel. Tetapi TIA cenderung kambuh; penderita bisa mengalami beberapa kali serangan dalam 1 hari atau hanya 2-3 kali dalam beberapa tahun.
Sekitar sepertiga kasus TIA berakhir menjadi stroke dan secara kasar separuh dari stroke ini terjadi dalam waktu 1 tahun setelah TIA.

DIAGNOSA
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala-gejalanya.
Karena tidak terjadi kerusakan otak, maka diagnosis tidak dapat ditegakkan dengan bantuan CT scan maupun MRI.

Digunakan beberapa teknik untuk menilai kemungkinan adanya penyumbatan pada salah satu atau kedua arteri karotis.
Aliran darah yang tidak biasa menyebabkan suara (bruit) yang terdengar melalui stetoskop.
Dilakukan skening ultrasonik dan teknik Doppler secara bersamaan untuk mengetahui ukuran sumbatan dan jumlah darah yang bisa mengalir di sekitarnya.
Angiografi serebral dilakukan untuk menentukan ukuran dan lokasi sumbatan.

Untuk menilai arteri karotis biasanya dilakukan pemeriksaan MRI atau angiografi, sedangkan untuk menilai arteri vertebralis dilakukan pemeriksaan ultrasonik dan teknik Doppler.
Sumbatan di dalam arteri vertebral tidak dapat diangkat karena pembedahannya lebih sulit bila dibandingkan dengan pembedahan pada arteri karotis.

PENGOBATAN
Tujuan pengobatan adalah untuk mencegah stroke.
Faktor resiko utama untuk stroke adalah tekanan darah tinggi, kadar kolesterol tinggi, merokok dan diabetes; karena itu langkah pertama adalah memperbaiki faktor-faktor resiko tersebut.

Obat-obatan diberikan untuk mengurangi kecenderungan pembentukan bekuan darah, yang merupakan penyebab utama dari stroke.
Salah satu obat yang paling efektif adalah Aspirin.
Kadang diberikan dipiridamol, tetapi obat ini hanya efektif untuk sebagian kecil penderita.
Untuk yang alergi terhadap Aspirin, bisa diganti dengan tiklopidin.
Jika diperlukan obat yang lebih kuat, bisa diberikan antikoagulan (misalnya heparin atau warfarin).

Luasnya penyumbatan pada arteri karotis membantu dalam menentukan pengobatan.
Jika lebih dari 70% pembuluh darah yang tersumbat dan penderita memiliki gejala yang menyerupai stroke selama 6 bulan terakhir, maka perlu dilakukan pembedahan untuk mencegah stroke.
Sumbatan yang kecil diangkat hanya jika telah menyebabkan TIA yang lebih lanjut atau stroke.

Pada pembedahan enarterektomi, endapan lemak (ateroma) di dalam arteri dibuang.
Pembedahan ini memiliki resiko terjadinya stroke sebesar 2%.
Pada sumbatan kecil yang tidak menimbulkan gejala sebaiknya tidak dilakukan pembedahan, karena resiko pembedahan tampaknya lebih besar.